Pertanyaan tentang Perpisahan

Kenapa takut dengan perpisahan?

Bukannya di ujung pertemuan selalu ada perpisahan?

   

Kenapa perpisahan menjadi menyedihkan?

Karena fakta ujung perjumpaan?

Atau karena tak digunakan kesempatan?

   

Kenapa perpisahan selalu disesalkan?

Apa karena ada harapan yang tak tersampaikan?

Atau semata selisih yang tidak diselesaikan?

   

Apapun definisimu tentang perpisahan,

ingat bahwa kita pernah bergandeng beriringan,

sebelum berpisah di ujung jalan.

 

Keluar, Masuk, Pergi, Datang

Keluar.

Lihat bulan malam ini,

lihat kita disana?

Aku juga.

 

Keluar.

Lihat bintang malam ini,

tidak terlihat kan?

Raguku padamu pun.

 

Masuk.

Duduklah di dipan,

nyaman?

Juga pundak yang kusediakan.

 

Masuk.

Santaplah sedikit,

biar tahu lapar mataku ke matamu menggigit.

 

Pergi.

Tinggalkan masa lalu,

kenapa kita tidak mulai suatu yang baru?

 

Pergi.

Jangan lihat ke belakang,

aku di depan.

 

Datang.

Biar hilang punyamu penat,

kuganti dengan kecup hangat.

 

Datang.

Supaya kau ingat,

rinduku laknat.

Jumpa

Aku bangun dan bergegas lari ke kamar mandi dengan sentuhan ujung kelingking tersangkut di meja—jangan tanya rasanya—sampai akhirnya aku melewati bundelan kalender dan tersadar… ini hari Sabtu. Sial. Aku mendengar suara motor dan gerbang terbuka, kuintip sedikit dari celah jendela, ternyata Nta—adikku sayang—sedang bersiap berangkat ke sekolah. Kukira anak sekolah jaman sekarang sudah tidak masuk lagi di hari Sabtu? Atau sekarang kembali seperti eraku dulu? Entahlah.

Aku masih sibuk membersihkan kotoran-kotoran di sekitar mata, sembari mencoba menggapai gagang pintu. Niatku, turun ke bawah untuk membuat secangkir kopi pagi ini. Sekilas dari kaca ruang tengah, aku lihat papa sedang duduk membaca koran di halaman belakang. Lantunan musik lawas mengiringi dari stereo di patio. Ah, andai setiap hari bisa seperti ini. Saat aku sampai di penghujung dapur, aku mendengar suara orang mencincang sesuatu. Mama.

“Pagi. Baru bangun, sayang?” dengan khas senyum mama yang menyejukkan.

“Pagi, mam. Iya. Kirain hari ini masih Jumat, tadi sampai lari-lari kesandung,” ujarku sambil menuang tiga sendok kopi dan satu sendok gula. Ya, aku suka kopiku pekat. Rasanya seperti tendangan untuk memulai hari. Atau apalah, toh itu cuma kopi.

“Makanya, jangan begadang teleponan terus. Mesra banget lagi.”

Aku cuma tersenyum kecut. Padahal aku selalu telepon dari kamar dengan pintu tertutup. Sial memang pagi ini.

“Kapan dong dikenalin ke mama?” tembak si mama.

Aku tersenyum lagi. Kali ini lebih kecut dari sebelumnya. Kalau boleh, aku memilih ikut melebur ke dalam adukan kopi di gelas. Pertanyaan ini lagi. Mama memang terlalu sayang.

“Si mama masa tanya pertanyaan itu lagi,” kataku sembari mengiris potongan kue keju di piring. Perasaanku sama sedang melelehnya dengan keju cair yang bergelimpangan.

“Suruh kenalkan calon pendamping, mas?”

Nanar matamu memang selalu polos. Membuatku kesal dan tak tahan. Tak tahan untuk terus melihat dan memberangus dalam senyuman.

“Iya,” jawabku singkat.

“Hahahaha, ya sudah. Kenalkan dong, mas.”

“Tidak semudah itu lah…”

Apa cuma aku yang sebal kalau dia sudah mulai meringankan masalah?

“Ya mudah. Tinggal diperkenalkan. Apa susahnya?”

Setelah lebih dari 3 tahun berhubungan, dia masih tetap simplistik seperti yang dulu kukenal. Sepertinya tidak satupun di dunia ini yang menurutnya patut dianggap rumit. Kalau marahku di tanduk, dia pasti akan mengutip Konfusius. Hidup itu mudah, katanya, kita lah yang memperumit kehidupan. Tahu apalah orang yang hidup 2000 tahun lalu.

“Mas, jangan bengong. Nanti kesambet loh.”

Ah, persetan.

“Mam, kenalkan, Setia.”

Jadikan Saja!

Saat dua sudah bertatap mata dan bergetir tertentu, jadikan saja!

Karena bukannya selalu ada sesuatu di dalam getiran itu?

Saat dua sudah bercengkrama dalam hangat, jadikan saja!

Karena bukannya kehangatan itu sesuatu yang hikmat?

Saat dua sudah melebur jadi satu, jadikan saja!

Karena bukannya gairah itu pertanda cinta suci dalam tembok bisu?

.
.

Saat dua berniat untuk menjadi, kenapa tidak dijadikan?

Bukankah kalian yang menjalani dan yang lain hanyalah saksi?

.
.

Saat dua bermimpi untuk menjadi, kenapa tidak diikrarkan?

Bukankah Yang Esa lebih tahu dari mereka?

Jadikan saja!

2.36 PM

2.30 – Hai..

2.30 – Hai, juga.

2.30 – ASL?

2.30 – Rudi, 38, Kuningan.

2.31 – Dekat loh dari sini Kuningan.

2.31 – Minat meet-up?

2.31 – Boleh.

2.32 – Kuningan City?

2.32 – Bisa, bisa.

2.33 – Venue?

2.33 – Bebas.

2.33 – Starbucks sounds good?

2.34 – Done.

2.34 – Jam?

2.35 – 6?

2.36 – Great, see you there.

2.30 – Mas Rud?

2.30 – Ya?

2.30 – Nanti mampir ke tempatku?

2.31 – Iya. Kamu masak?

2.31 – Mas mau apa?

2.31 – Apa saja, lah.

2.32 – Sup bakso lagi?

2.33 – Buatkan sambalnya, ya.

2.33 – Iya, mas.

2.33 – Anak-anak di rumah?

2.34 – Di rumah eyangnya, mas.

2.34 – Oh.

2.35 – Mas nginap malam ini?

2.35 – Terserah kamu, dek.

2.36 – Nginap aja, biar aku gak sendiri.

2.36 – Iya.

1.25 – Dek.

2.15 – Masih marah kamu, dek?

2.20 – Aku sudah janji ajak Nita main nanti sore, dek.

2.23 – Dek, aku sudah gak datang ke ulang tahunnya kemarin, aku mau ajak Nita beli boneka yang dia mau. Aku sudah janji.

2.36 – Kamu masih punya kunci pintu, mas.

2.21 – Mas, dia tanya lagi.

2.21 – Sudah umurnya untuk bertanya, dek.

2.25 – Aku gak tahu mau jawab apa.

2.25 – Jawab saja apa adanya.

2.25 – Mas udah mulai gila?

2.26 – Enggak, aku cuma mau jujur. Itu aja.

2.30 – Terkadang jujur bukan jawaban, mas.

2.30 – Itu tahu.

2.30 – Tapi aku juga tahu jujur itu hak.

2.31 – Hak apa?

2.31 – Hak dia untuk tahu. Tentang kita.

2.31 – Tapi enggak sekarang, mas. Belum waktunya.

2.32 – Menunda juga bukan hal yang baik.

2.32 – Kenapa gak biarkan aja dia tidak tahu? Lebih baik. Tidak rumit.

2.33 – Kamu malu?

2.33 – Enggak.

2.35 – Lalu?

2.35 – Jujurnya aku takut untuk beri tahu, mas.

2.36 – Biar aku yang bicara.

2.30 – Om pulang jam berapa?

2.32 – Ada apa kah?

2.32 – Aku mau kasih liat sesuatu.

2.33 – Gak bisa dikirim lewat sini saja?

2.33 – Bisa, tapi…

2.36 – Om pulang di jam biasa. Kamu mau dibawakan apa, cantik?

12.31 – Aku dan Eka sudah disini.

12.32 – Terima kasih. Sekelarnya aku langsung kembali kesana, cantik.

2.34 – Om..

2.34 – Ya?

2.35 – Cepat kesini.

2.35 – Ada apa?

2.35 – Papah..

2.36 – Dokter?

2.36 – Iya. Sebentar lagi.

2.36 – Aku pergi sekarang, sampaikan, jangan pergi tanpa aku.

2.30 – Kamu masih disini?

2.30 – Tidak terbalik?

2.31 – Kamu masih lucu seperti dulu, mas.

2.31 – Kamu pun.

2.31 – Petualangan yang menarik.

2.31 – Apa?

2.31 – Kita.

2.31 – Aku rasa pun begitu.

2.32 – Kamu gak berubah.

2.32 – Rambutku sudah putih. Apanya yang tidak berubah?

2.32 – Aku masih lihat kamu seperti dulu.

2.32 – Aku pun.

2.32 – Botak?

2.32 – Tetap menarik.

2.32 – Gombal pria.

2.32 – Di mataku, kamu masih si kemeja merah yang duduk menunggu di pojok ruang.

2.32 – Mas masih ingat?

2.32 – Setiap detiknya. Setiap detiknya.

2.33 – Aku juga.

2.33 – Petulangan yang menarik.

2.33 – Iya. Siapa yang paham takdir?

2.33 – Dek.

2.33 – Ya?

2.33 – Aku gak pernah bilang sebelumnya.

2.33 – Tentang apa?

2.33 – Kalau aku cinta, dan tetap cinta.

2.33 – Aku tahu.

2.34 – Terima kasih.

2.34 – Untuk apa?

2.34 – Semuanya.

2.34 – Terima kasih kembali. Untuk selalu disini.

2.35 – Aku mau kamu tahu satu hal yang terakhir.

2.35 – Ya?

2.35 – Aku tidak pernah menyesal dua dekade. Bersama kamu.

2.35 – Jangan dibuat seperti perpisahan.

2.35 – Ujungnya pun demikian.

2.35 – Tapi tidak harus, mas.

2.35 – Kamu masih keras kepala.

2.35 – Alasanmu mencintaiku?

2.35 – Iya.

2.36 – Mas..

2.36 – Ya?

2.36 – Aku lelah sekali.

2.36 – Tidur, dek. Aku disini.

2.36 – Aku gak mau bangun tanpa kamu disini, mas.

2.36 – Aku disini. Aku janji.

2.40 – Dek.

2.41 – Dek, aku masih disini, seperti yang aku janji.

2.41 – Dek, terima kasih untuk semuanya. Aku tetap milikmu, seperti yang pernah kita janji.

2.41 – Tolong tunggu aku disana.

2.35 – Cantik, orang dari funeral service telpon lagi.

2.35 – Untuk nisan, om?

2.35 – Ya, sayang. Sudah kau putuskan?

2.35 – Iya.

2.35 – Boleh aku tau?

2.36 – Iya: “Fredi, kembali dalam pelukan Bapa. Seorang ayah. Seorang suami yang dirindukan.”

One of Those Things

It’s one of those things,

when I talked to you and I didn’t really realize how time passed by.

 

It’s one of those things,

when it’s simply me and you going silly about life and people.

 

It’s one of those things,

when I started to stead my head high and like how things been going.

 

It’s one of those things,

when it struck me like a lightning that you’re my everything yet you thought it was nothing.

 

It’s one of those things,

that now I keep hoping.

Sedikit Untukmu

Hujan diluar sedang menderu,

dan seperti biasa, teman;

Aku berada di balik tirai yang tak pernah bisa kau sentuh,

tapi tentu kau tahu, bahwa tanganku selalu mengulur peluh,

biar tak ada kau rasa jenuh.

 

Tapi janganlah gusar pun gelisah,

pun kau menjadi lesu atau resah;

Paraumu kudengar di balik deras walau susah,

bersaing menerjang tetanah yang basah.

 

Kemarilah,

kuhilangkan sedikit letihmu yang memuncak;

Kemarilah,

lepas semua beban berat dan kita santai sejenak;

Tanggalkan kasut dan ransel,

biar bahumu terasa berjejak;

Bagikan bingkai yang ada di kepala,

lagipula, aku temanmu, bukan?

 

Datanglah,

mari puaskan dahagamu yang sesak;

Aku tahu perjalananmu sudah telah,

dan jangan lagi kau merasa tidak,

karena jauh kurasa kau sudah.

 

Pergilah,

karena reda sudah badai di celah;

Sekali lagi, pergilah,

karena aku tahu kau masih ingin memerah,

memerah harap yang sedang kau pilah.

 

Hanya sampai sini aku mengantarmu, wahai kawan,

karena disinilah jarak terjauh yang Ia relakan.

Lepas bulir yang mengalir di wajah,

aku masih bisa melihatmu dari titik yang terjajah.

Dan dimanapun kau berada, kawan;

Ini yang kuingin kau dengar,

Ketahuilah, bahwa lantunan merdu selalu kupanjat,

semoga engkau berhasil mengakhiri pertandingan,

semoga selalu ada aku lain tempatmu melepas lelah,

semoga engkau mencapai garis terakhir,

semoga engkau berhasil meraih tanpa susah,

dan yang terpenting dari semua,

semoga engkau mengakhiri dalam iman.

 

Doaku bersamamu, selalu.

-Putu

Sekilas Tentang Kehidupan Beragama di Indonesia

Katakanlah kejadian ini berlangsung di sebuah tempat ngopi dua sekawan di kawasan Jakarta Selatan, antara si Ono dan Joko. Ono dan Joko keduanya berlatar belakang karyawan swasta, berteman sejak sekolah menengah, dan biasa bertemu setiap Rabu untuk sekedar bercanda melepas penat, atau bahkan mendiskusikan hal-hal yang mereka anggap menarik.

“Oi, No. Ngape lo muka ditekuk? Bini minta liburan lagi?”

“Kagak, gue lagi bebukaan Facebook sama forum online,” jawab Ono sekilas.

“Ada apaan yang seru? BB17++ ye? Share lah.”

“Ngaco lu, Ko! Dicekek gue entar ama bini gue share yang enggak-enggak.”

Sejoli ini pun tertawa ringan.

“Ini, gue perhatiin akhir-akhir ini postingan paling hot kalo tentang agama ye,” lanjut Ono.

“Agama bijimane dah? Kagak maksud gue.”

“Iye… apa perasaan gue doang yak. Perasaan kalo share entar ada serang-serangan ke ajaran A, nanti A ga terima nyerang B, kagak bisa adem, pokoknya tanding MU-Arsenal aja kalah dah hotnya,” timpal Ono sembari terus men-scroll layar tabletnya.

“Eh, iya ye. Gue sih juga liat biasanya, tapi ya gue diemin aja. Kagak ngurus dah.”

“Tapi pan ironi, Ko.”

“Ironi bijimane lagi ah?” ucap Joko sambil memotong strawberry cakenya.

“Iye, pan lo ingat pelajaran sejarah kagak? Jaman kita ama si Bu Iyem.”

“Oh, yang bahan apalannya banyak beud yak?”

“Iye, yang satu LKS suruh selesein satu minggu, ajegile. Tapi lo masih inget kagak yang bahas perundingan kemerdekaan antara ponding paders?”

“Founding Fathers! Lo mah udah jadi manajer masih aja Bahasa Inggrisnya norak.”

“Ya maap dah. Kayak gak tau aje lu gue dulu cuma dapet 8 paling bagus. Itu, sila pertama pan pernah diributin, karena pas Piagam Jakarta ditulis berdasarkan syariat Islam terus mau diadopsi jadi dasar negara,” kata Ono.

“Oh, nyang onoh.. Iye, iye. Yang terusannya kalo gue kagak salah inget pemimpin daerah dari daerah yang bukan Islam kepingin misahin diri jadi negara sendiri aja yak kalo itu jadi sila pertama?”

“Iye. Pan ono aje para ponding paders termasuk Soekarno rembukan kalo Indonesia tuh satu. Kagak bisa nyang namanya dipecah-pecah. Yang penting pada dasarnya beragama. Udeh, titik. Kita pan emang beda agama, budaya, suku, ras.. ngape juga harus dipermasalahin. Justru harus jadi bahan penyatu. Mereka aje dulu bisa ayem ngindarin perpecahan,” jawab Ono.

“Founding Fathers! Terus ironi lu dimana dah?” tanya Joko sembari menyeruput whip cream.

“Ah! Lo mah pinter Bahasa Inggris doang, nalarnya kagak jalan, bingung gue mah lo bisa jadi direktur. Yah… ironi aja, Ko. Perbedaan masalah pundamental macem itu aja bisa diselesein baek-baek ama para pendiri negara nyang notabene banyak perwakilan masing-masing agama, suku, dan daerah. Kenapa juga kita, nyang Bu Iyem tereakin terus sebagai pengisi kemerdakaan, di 60 tahun kemudian malah saling serang satu sama laen. Ada yang bilang kalo ga terima keluar aje dari Indonesia. Ada yang bilang mau bikin negara sendiri. Kagak abis pikir dah gue, Ko. Gampang bener yak ngomong ngusir atau mau misahin diri. Nangis kali itu Bung Karno di kubur.”

“Nah gitu kalo ngomong, kudu danta. Iye sih ye. Kagak maksud gue juga demen beud ngeklaim paling bener.”

“Kalo kata gue mah yak, Ko, urusan agama mah urusan pribadi, urusan masing-masing. Urusan gue ama Nyang Diatas. Ngape juga kudu di koar-koar, pake bahasa yang terang nyerang yang laen. Apa kata-kata semua agama ngajarin damai itu bohong, Ko?”

“Kagak lah, ngaco lu. Semua agama mah ngajarinnye baek-baek. Para penganutnye aje berasa paling bener semua.”

“Kagak, cuma itu, Ko.”

“Ape lagi dah?”

“Kadang satu agama aje bisa saling nyerang-nyerangan, Ko. Cuma karena beda aliran, beda cara sesembahan, beda cara mandang satu tokoh, beda tafsir, ama macem-macem dah. Bisa gontok-gontokan,” jawab Ono.

“Iye ye, baru sadar gue pas lo ngomong ini, No. Gue liat noh kapan hari juga di timeline gue.”

“Nah itu, Ko. Sedih beud kagak sih? Kalo dikatain negara luar kagak beradab, nyarococosnye paling rame. Tapi nyatanye ape, Ko? Emang kagak beradab kan? Kudu ribut dulu.”

“Hahahahahaha, bisa aje lo mah!”

“Lah iye, Ko. Belonan sekarang banyak webset-webset.”

“Website! Anjrit, kursus lo sono. Website ape? Porno? Ada yang baru? Bagi dong gue.”

“Hahahahaha, kagak, ngapain lo minta-minta bagi, orang diblokir juga kagak nyampe 10 detik ngotak-ngatik kebuka, macem kagak tau aje lo kerjanya Departemen nyang satu itu. Webset yang bawa-bawa embel-embel agama di nama websetnya, Ko.”

“Oooo, iya, lagi banyak noh di share terus. Path gue aja penuh gituan.”

“Nah, itu die. Mayoritas orang di Indonesia, asal nama websetnye ada nama agama mereka, dianggepnya nyang ditulis udah bener beud dah. Pasti kagak ada salahnye. Mau agama apa juga itu orang, asal ada nama agama mereka, udah dah. Padahal pan itu nyang nulis juga manusia, Ko. Bukan nabi, bukan Tuhan, bukan ape,” timpal Ono

“Maksud lo kite kudu lebih kritis kalo baca website gituan?”

“Lah iye lah. Emang kita kagak dikasih akal pikir untuk cek silang? Untuk cari pemahaman sebelom ngaminin? Enak amat ye negara luar mah, kalo di negara lain kudu kerja ekstra buat mecah belah, di Indonesia mah mereka duduk rapi aje sembari ngopi. Kagak diapa-apain juga udah pada saling ngeruncing dewekan.”

“Wih, tumben lu pinter, No!”

“Lupa lo gue kamlode angkatan gue?”

“Cum laude!”

“Auk ah! Udah ye, asisten gue udah nge-ping macem bini gue kalo gue pulang malem. Sabtu putsalan kagak?”

“Atur dah, telpon gue ye. Ati-ati lu dijalan.”

Lalu Ono pun berjalan keluar menuju pelataran parkir, sambil terus memikirkan yang baru saja dia perbincangkan dengan Joko di dalam. Satu yang di benaknya masih belum terjawab adalah, mau dibawa kemana negara ini? Apakah cucunya tidak akan mengenal lagi nama Indonesia karena sudah tercerai-berai? Masihkah ketika dia dikubur nama tempat dia dikubur adalah Indonesia? Ah, satu yang pasti, ada setumpuk proposal tender yang harus dia periksa di mejanya.

Perihal Senyuman

“Ih, manehna goblok pisan!”

Ucapan khas Mang Udin kalau sedang marah.

“Kenapa lagi sih, Mang?”

“Eta truk belet neng, bongsor nengah bae!”

Aku tersenyum. Aku sedang berada di tengah Lingkar Luar Jakarta bagian selatan, niatnya menuju ke kampus. Mang Udin supir kami sudah 15 tahun, dari saat aku masih TK kurasa. Mang Udin terkenal ulet. Hebat kamu kalau bisa menemukan satu saja bercak di badan mobil kami. Mang Udin juga punya ingatan yang tajam. Kata papa, sedari awal Mang Udin dibawa ke Jakarta, papa hanya perlu sekali menunjukkan jalan, dan sisanya Mang Udin akan selalu ingat. Aku masih ingat waktu mobil kami berganti dan papa lengkapi dengan GPS terbaru.

“Nah, Mang, sekarang ada alat ini. Namanya GPS. Kalau mamang hilang arah, mamang tinggal klik tombol merah, pilih tujuan, nanti alatnya yang kasih tau arah,” ujar papa waktu itu.

“Ih, bapak, mah. Kapan atuh saya mah pernah lupa jalan?”

Dan Mamang memang tidak pernah lupa, dia hafal sampai jalan-jalan tikus di Jakarta. Mamang juga kadang bertindak sebagai pemegang skedul di rumah kami. Hampir seluruh kegiatan kami Mamang hafal.

“Neng, hari ini les sakso sakso teu? Biar mamang jemput abis nganterin ibu.” Aku rasa mamang lebih handal dari smartphone kami. Walau dia salah mengucapkan saxophone.

Aku sampai di tujuan.

“Yang semangat neng belajarnya. Biar ga belet kayak Mamang,” kata Mamang sambil membukakan pintu, dan tak lupa senyuman lebar yang menunjukan giginya.

Aku turun dengan bersemangat.

**

“Pagi, non,” sapa Pak Karto.

“Pagi, Pak. Bapak sudah sarapan?”

Pak Karto adalah satpam kampus. Dia yang biasa berjaga di meja security depan lift lantai dasar. Kalau boleh berfavorit, dia adalah satpam favoritku. Dia terbiasa tersenyum kepada siapapun yang melintas di depannya, tidak memandang mahasiswa, pengajar, staff, atau apa pun. Banyak yang tidak balas tersenyum, mungkin ada yang merasa canggung, gengsi, atau tidak sedang dalam keadaan untuk membalas senyum. Tapi aku selalu membalas senyum Pak Karto. Senyum bukan merupakan bagian dari deskripsi pekerjaannya, tapi toh, tetap dia lakukan setiap hari. Dan mungkin, hanya mungkin, senyumannya mengubah hari suatu orang menjadi lebih baik.

“Hehe, belum, non.”

“Nanti saya turun lagi, kok. Saya pesenin bubur aja kayak biasa ya, Pak.”

Apa salahnya kan aku pun mengungkapkan sedikit rasa terima kasihku untuk senyumnya?

**

“Sin, tugas Pak Dodo udah kelar belom?”

“Udah, tapi nomor 5 belom nih, gue ga paham maksudnya apa. Belom pernah diajarin juga.”

Yang barusan adalah Joz. Dia teman seangkatanku, dan terima kasih untuk mayoritas bagian kurikulum universitas yang terbiasa memberikan paket SKS untuk satu semester ketimbang membiarkan mahasiswa memilih sendiri seperti di luar negeri, aku selalu ada sekelas dengannya. Joz tidak bisa dibilang, yang menurut sebagian besar orang, cerdas. Indeks prestasi kumulatifnya jarang menembus lebih dari 3,0. Tapi di luar sana, Joz adalah kapten dari tim basket universitas kami. Aku memang tidak pernah mengerti basket, tapi sebisa mungkin aku akan hadir di setiap pertandingan yang dia libati. Kalau sekarang kamu bisa menebak, memang benar, aku suka dengan pria ini.

“Makasih banget loh, Sin! Lo mah emang paling penyelamat hidup gue, deh!”

Kalau bisa kurekam, aku sudah sekelas dengan Joz selama 3 semester. Itu berarti 78 minggu. Kalau dalam satu minggu ada tiga kali tugas, maka kata-kata itu sudah diucapkan dia kepadaku sebanyak 234 kali. Dan sebanyak 234 kali itu pula dia menyebutkannya dengan seringai lebar. Untuknya memang, baik ucapan atau senyumannya, adalah basa-basi ungkapan terima kasih karena telah membantunya mengerjakan tugas. Tapi bagi wanita lain, sebuah senyuman dapat membuat seluruh darah terasa terpompa ke kepala, menambah degup jantung, memperderas keringat, dan membuat lutut gemetar.

Ya, walaupun itu di ulang sebanyak 234 kali. Dan lebih banyak lagi di waktu mendatang.

**

“Langsung tempat les ya, neng?”

“Iya, mang.”

“Mau mampir beli kopi pait yang biasa dulu gak?” Mamang tidak pernah suka dibelikan kopi dari mesin yang ada di minimarket yang bertebaran di pinggir jalan.

“Langsung aja deh, mang.”

Kami meluncur ke jantung kota. Macet jangan ditanya, tapi toh siapa sih yang tidak terbiasa? Terutama di lampu merah besar seperti ini, dimana kami harus berbelok ke arah kanan, dan lampu lalu-lintas hanya sudi berpencar hijau lebih singkat. Orang-orang bertebaran di jalan, mulai dari yang membawa kacang dalam bungkusan kecil, air mineral, atau koran hari ini. Satu mengetuk-ngetuk jendela. Aku lirik singkat.

“Mang, ada seribuan?”

“Wah, neng, gak ada.”

Aku merogoh ke dalam tas, berharap ada uang yang tercecer. Dan saat itu aku merasakan mobil berhentak, nampaknya mamang sudah siap untuk memajukan kembali kendaraan. Tanganku menyentuh lembaran kusut, sepuluh ribu rupiah dari warnanya yang merah. Secepat mungkin aku membuka kaca jendela, mobil kami sudah mulai berjalan pelan, tanganku sudah melambai sepergelangan tangan, ibu tua itu berlari kecil mengejar kami, sampai akhirnya tanganku menyentuh tangannya. Ucapan terakhirnya masih kuingat,

“Terima kasih, mbak. Semoga selalu dibawah lindungan Allah.”

Saat aku menoleh ke belakang, kulihat ada senyum bahagia.

***

Menurut sebagian orang senyum adalah gestur singkat dalam cara bersosial. Sebuah senyuman bisa diartikan sebagai tanda mengerti atau tanda suka dengan apa yang dilakukan oleh lawan sosialnya. Senyuman juga dapat berarti sebagai tanda bahwa kita memasang imej ramah dan terbuka untuk pembicaraan.

Menurutku, senyum lebih dari itu. Pada dasarnya manusia diberkahi oleh otot di wajahnya, otot diwajah dapat membentuk berbagai bentuk yang mengekspresikan kondisi emosional pemiliknya. Senyum itu mudah, tapi ternyata sulit untuk dilakukan. Bukan sulit untuk tersenyumnya yang sedang kutekankan, tapi kehangatan dalam senyuman yang kumaksud.

Senyuman dalam ketulusan yang tepat, dapat menjadi semangat, seperti yang pernah Bu Tien berikan kepada Garuda-wan yang akan berangkat. Iapun dapat pula menjadi endorpin yang menenangkan, membuat lawannya merasakan kehangatan lebih di pipi dan hati. Dalam kondisi lain, senyuman memberikan kelegaan, seperti setetes air ditengah gurun yang gersang.

Untukku, diatas semua itu, apapun tujuan dari senyuman yang diarahkan kepadaku, atau dari siapapun senyuman itu berasal, aku merasa dimanusiakan dan menjadi manusia seutuhnya.

So long, dear Beloved

I do really like you; from the first moment I saw you.

You have those calm and blurry eyes; which draws me even closer.

Your cheerful smiles, somehow made me forgot how many hours I need to spend in this enclosed room.

You answered a many awful lot of questions; much of it was nonsense, of course; another much of it, showed me what a vast knowledge you had in mind.

It was a silly thing, I knew; but I also knew by keep asking, I’ll keep your attention.

It was another silly thing; but I liked being silly, just so I can keep hearing your voice.

If there’s another thing I must do to keep my attention away from that moment, God knows, it was enraging as I didn’t want my attention to be drawn away.

As many illusions that came in my wretched journey so called life, it must go away at some point.

I dread these: feeling, condition, fate, wanting, desire, lust, greed… love.

I dread the fact, you’re not created, not being put, not spurred at the right moment, to be able held hand, side by side, as us.

Peers told me, if there’s still a chance, gamble with it. I said no, dear you, no.

It will be a sheer chance of getting, and huge chance of losing; but to foresee that a tear may slide down into that cheeks is too much of a bet.

And if fate was written so, so be it; as far or near, the glimpse of you grinning, is like a water for a thirst.

It was not much of a time, but I can tell you this, those hours spent, was a time well-spent, and will never, ever be forgotten.

Dear beloved, for with whoever you will be, I wish you only happiness that follows.

Yours, and yours always,

-P