“Sudah lebih dari sebulan sejak pengakuanku yang terakhir, Romo. Bahkan aku berbohong sekarang. Sudah lebih dari 10 tahun aku tidak pernah melakukan pengakuan.”
“Teruskan, anakku.”
—
“Quando sono solo sogno all’orizzonte
When I’m alone I dream on the horizon
e mancan le parole
and words fail;
si lo so che non c’è luce
yes, I know there is no light
in una stanza quando manca il sole
in a room where the sun is absent”
Aku selalu datang setiap jam 6 pagi. Jarak tempuh dari katedral menuju tempatku tinggal hanya berjarak beberapa langkahan yang bisa sampai dalam dentingan menit. Banyak orang bertanya mengapa aku begitu rajin untuk menghadiri misa pagi, apakah aku seorang yang relijius? Banyak juga yang menyampaikan kesalutannya atas iman ke-Kristenan-ku. Sebenarnya mereka semua salah. Aku hampir tidak pernah lebih dari membuat gestur singkat, bahkan aku saja sering tidak yakin bahwa suatu zat—zat kah dia?—yang dinamakan Tuhan benar adanya.
Sebenar-benarnya, aku hanya menikmati perjalanan kaki di pagi hari. Kota yang belum sumpek dengan tetek bengek keramaian. Aku biasa berpapasan dengan para penjaja rokok yang baru siap menutup—dan beberapa membuka—dagangan mereka. Aku biasa berpapasan dengan seorang suster yang mendorong lelaki tua yang terserang stroke. Aku biasa berpapasan dengan seorang ibu yang membawa bayinya untuk berjemur. Aku menikmati pemandangan-pemandangan singkat seperti itu dan sejuknya udara. Tidak harus terbersit dengan kerumitan yang harus kutempuh siang nanti.
Aku berjejak masuk. Aroma bangunan yang kukenal sejak 10 tahun lalu. Mempercikkan sedikit air suci dan membuat tanda salib, seperti yang kukatakan, gestur singkat. Duduk di tempat yang sama dan memperhatikan prosesi misa berjalan. Tak banyak yang sebenarnya aku mengerti, apalagi tahu, aku biasa termenung memperhatikan kaca patri yang mengelilingi ruangan ini. Favoritku, ada satu, patrian Keluarga Kudus. Bunda Suci duduk memangku Sang Juruselamat disebelah Santo Yoseph. Aku suka dengan keteduhan mata Bunda Maria di kaca itu, terlihat sangat tenang dan penuh rasa terberkati. Sang Juruselamat terlihat menikmati pangkuan, mata tegas dan penuh ingin tahu, dengan senyuman yang membentuk gumpalan pipi seakan ingin menyampaikan kepolosan dan ketidakbersalahan-Nya. Ayah keluarga itu—Santo Yoseph— terlihat berdiri di samping mereka dengan digambarkan tetap tersenyum, namun naluri melindungi tetap terlihat jelas di raut mukanya. Aku tidak paham persepsi lain tentang mereka, setidaknya itulah persepsiku, sebuah keluarga kecil yang utuh, tapi bahagia.
“Amin. Dalam nama Bapa, dan Putra…”
Aku tersentak seperti biasa, kembali dari lamunan. Orang-orang mengakhiri ibadah mereka dan bersiap maju untuk menyalami selebran. 06.35, seperti biasanya. Aku maju dalam barisan kecil, sebelum sepersekian detik kemudian jatuh dalam kilatan. Aku tidak jatuh fisik secara literal, tentu saja. Aku jatuh terhadap pria berkaus hitam yang sedang berhendak keluar setelah selesai bersalaman. Kami saling tersenyum dan menukar anggukan. Nista, aku mendadak sulit bernafas, apalagi untuk terus bergerak.
Pertemuan ini awal dari kehancuran semuanya.
—
“Aku melakukan dosa yang tidak mungkin dimaafkan oleh Tuhan sendiri, Romo.”
“Bukankah Allah sendiri mengirim anak-Nya yang tunggal untuk menebus semua dosa manusia? Lanjutkan, anakku.”
—
“Con te partirò paesi che non ho mai
I’ll go with you, to countries I never
veduto e vissuto con te
saw and shared with you
adesso si lì vivrò
I’ll live there now.”
Aku semangat memasuki kafe kecil di ujung jalan, tempat kita selama 4 bulan sering bertemu dan melepas rindu. Aku mengenali penampakanmu dari kejauhan, aku selalu mengenalimu.
“Kamu terlihat menakjubkan, seperti biasa.”
“Kamu pun.”
Kita akan memesan makanan dan ditutup dengan sepiring penutup yang tidak pernah kau habiskan, selalu seperti itu. Lalu kita akan melanjutkan dengan pembicaraan tak jelas arah tentang kehidupan. Tentang aku, kamu, dan keluargamu. Apakah aku pernah bosan, kau pernah bertanya. Tentu saja itu pertanyaan terbodoh yang pernah kudengar, tapi sering kau ajukan.
“Bagaimana pernah aku bosan?” kujawab balik pertanyaanmu dengan pertanyaan.
Aku tidak pernah bosan. Aku selalu menikmati candaan kita, yang sebenarnya selalu berulang. Aku mensesap setiap butir pembicaraan, senikmat teh pahit yang selalu kau pesan. Bagaimana tidak, hanya sedikit waktu yang masih bisa kau sisihkan untuk pertemuan singkat kita. 4 jam, tidak lebih. Setelah itu kau harus kembali ke rumahmu yang hangat dan nyaman, kembali bersama keluargamu yang kau banggakan. Aku masih ingat kau bangga dengan sulungmu yang berhasil menjadi juara umum di angkatannya, kau hampir berlinang air mata menceritakannya, aku pun saat itu bangga mendengarnya. Atau bungsumu yang mulai ketahuan berkencan dengan lelaki seumurannya dan membuatmu takut dan cemas, aku pun berbagi cemas denganmu. Atau di momen lain ketika hasratmu memuncak dan kita harus kembali ke tempatku untuk melebur asmara yang dilarang Tuhan. Tidak, tidak pernah sedikitpun detik lewat tanpa kujaga dan kusimpan sebagai kenangan. Kenangan, sayang, karena hanya itu harta yang kupunya dalam perjalanan singkat di kehidupan yang ini.
—
“Apakah kau pernah menyesal, anakku?”
“Tidak pernah.”
—
“tu mia luna tu sei qui con me
you, my moon, are here with me,
mio sole tu sei qui con me, con me, con me, con me
My sun, you are here with me, with me, with me, with me”
“Pernahkah kau menyesal?” pertanyaanmu yang kau tanyakan pada suatu hari.
“Menyesal dalam hal apa?”
“Menyesal berhubungan denganku. Aku tidak bisa memberimu banyak.”
“Dan jam, dan sepatu yang baru kau berikan tidak bisa kau sebut banyak?” aku membalas sembari tertawa lepas.
“Kau tahu bukan itu maksudku.”
“Aku tahu, dan aku tidak pernah menyesal.”
“Andai keadaan berbeda, andai kita bertemu dalam zaman yang berbeda.”
“Andai…” aku berbalas lirih. Sedikit pedih.
“Kita bisa membentuk keluarga kecil yang kau idamkan.”
“Kau tahu selamanya aku tidak akan pernah bisa memberimu keturunan seperti yang sekarang kau banggakan.”
“Aku tahu. Tapi, bukankah keluargapun bisa terbentuk atas dasar dua orang yang mencinta di hadapan Tuhan?”
“Kita? Bisakah? Sanggupkah mereka memberi pemberkatan? Maukah Tuhan?”
Kau terdiam dan membisu di sisa pembicaraan.
—
“Romo terdiam.”
“Tidak, anakku. Mengapa kita tidak berdoa bersama?”
—
“Time to say goodbye…”
Demikian bunyi pesanmu. Sudah dua minggu sejak pesan singkatmu terakhir kuterima. Sejak saat itu kau tidak pernah membalas pesan-pesan yang kulayangkan. Tidak pun tertera kau pernah membacanya. Apakah sedemikian mudahnya kau menutup akses percakapan kita? Yang terpenting, sedemikan mudahnya kau menutup hubungan kita yang terjalin sedemikian pula lamanya?
Aku teringat kau pernah bercerita tentang istrimu yang tidak pernah kau cinta, tapi teramat pencemburu. Harusnya itu sudah cukup menjadi pembenaran untuk alasanmu tidak mau bermesra di ruang terbuka. Tapi kau yang paling paham ketika aku sudah berkeras kepala dan menginginkan untuk tidak terjebak di dua tempat kecil tempat pertemuan kita yang biasa, dan seperti biasa, kau akan mengalah. Perlihaian kita tentu saja berjalan mulus seperti biasa, pada awalnya. Tapi tupai pun harus jatuh juga—terkutuklah mereka karena harus terjatuh. Kita tertangkap tangan bersama. Tidak ada yang bisa kita gunakan sebagai sangkalan apalagi alasan.
Waktu itu kau bilang semua akan baik saja. Lalu kau semakin menjauh. Lalu kau bagai hilang ditelan ombak, seperti satu pantai yang pernah kita kunjungi bersama. Klise, harusnya sudah kuduga.
Bukan tidak kuyakin semua perkataanmu sebelumnya, aku yakin semua datang dari lubukmu yang terdalam. Yang aku sesalkan adalah ketidakberanianmu untuk berdiri dan mengatakan kepada dunia. Tapi toh harusnya aku sadar, bahwa kau memang tidak pernah seberani itu sejak awal.
Tapi, sayang, jika kau kembali dan bertanya kembali pertanyaan itu, “Pernahkah kau menyesal?”
Aku masih akan tetap menjawab, “Tidak, aku tidak pernah menyesal.”
—
“Terima kasih, Romo. Untuk waktumu.”
“Kau tahu gereja ini adalah Rumah Bapa, dan semua orang, terlepas dari apapun mereka, apapun yang mendefinisikan mereka, diterima dengan tangan dan hati terbuka. Karena Kristus-lah kepala gereja, dan siapalah aku untuk menghakimi mereka yang datang untuk memeluk Tuhan-nya? Untuk menyebut aku adalah tangan-Nya pun aku tidak layak, anakku.”
Linangku yang pertama.
“Kembalilah lain waktu, anakku. Kau tahu aku selalu berada disini, dan yang paling harus kau ingat, bahwa Tuhan selalu ada di hatimu.”
“Terima kasih, tapi tidak, Romo. Inilah terakhir kali kau akan melihatku, pembicaraan ini mungkin akan menjadi harta terakhir yang kukenang.”
Linangku yang kedua.
“Kalau begitu pergilah dengan damai, anakku. Dan ketahuilah, bahwa Bapa di Surga mengarahkan wajah-Nya kepadamu, dan memberikan kau damai sejahtera.”
—
Seperti yang kukatakan di awal, satu-satunya harta yang kupunya adalah kumpulan kenangan yang kusimpan rapi. Perjalanan singkat denganmu, adalah salah satu dari harta yang paling kusayang. Kenangan yang langut dan bahagia.
Ada yang berbilang bahwa ini adalah cara pengecut untuk melarikan diri. Tapi sungguh, kau harus berada disini untuk merasakan apakah benar mudah untuk menarik pelatuk ini. Doa terakhir yang aku ucap adalah semoga dimanapun engkau berjejak semoga Ia selalu mengalasi langkahmu dan dengan siapapun engkau berada semoga hanya kebahagiaan yang mengirimu.
Aku pernah teringat ada tertulis, bahwa Tuhan menyambut semua yang letih lesu dan berbeban berat. Aku hanya berharap, di ujung sana Ia masih mau menerimaku dengan kasih-Nya.
—
“Karena yang berasal dari tanah pun kembali ke tanah.”
Aku melihatmu di ujung belakang. Menangis tertahan dan perih. Kemudian aku tahu kau tak tahan, kau kemudian menjerit dan melolong dalam ratapan. Aku berjalan mendekatimu. Aku merabamu di bahu. Dan mendekatkan kepalaku di telingamu.
“Aku masih sayang.” Lalu aku mengecupmu di pipi ringan.
Kau terdiam. Kau tersenyum kemudian.
Bapa, aku pulang.