Age Disparity in a Relationship?

Just recently, a good friend of mine came with this question upon me during our usual chat session:

“Would you, say, date someone with a difference in age like a decade or something?”

Ha. It never crossed my mind before to think such an idea. I’ve never really had an interest with someone twice my age. Kay, that’s a little bit exaggerating, let’s say half of twice. Not that I don’t find them interesting, it’s mostly coz they’re married. Which is like a nope. I don’t expect my future partner to play behind my back, so why should I with others’ partner? It’s like karma or something. Yes, I’m superstitious in that way.

So I answered him:

“Why should it be a problem anyway?” I was testing the water, not quite sure where he wanted to head with his question.

“Well, you know… It just doesn’t feel right.”

“Is this person, in any way, committed in a relationship right now?”

“Nope, not that I know of.”

“Then, duh, fire away, it’s just a dinner anyway.”

“Still…”

“Does he have a steady income?”

“Yes.”

“Decent looking?”

“Quite.”

“Do you think he’s quite mature?”

“Yes. And that’s the actual problem…”

Ha!

I’ve already guessed it since the beginning. In my last post, I state it plain enough, that one’s age has nothing to do with one’s maturity. He’s scared to be found as childish with his future boyo, which is utterly nonsensical for someone who hasn’t even met each other. It’s nonsensical primarily because each person may see the term ‘mature’ in a very distinct way. It’s not a math with a simple common denominator. It doesn’t work that way. God!

So I told him my view, and of course, as usual, he simply nodded at the end of every sentences. I told him to just focus on being him on his first date. Date is like a get-to-know gate, you shouldn’t feel burdened on how you need to present yourself. After all, if thing goes well, won’t that person across the table be the one that you spent your day with?

Ended, isn’t it?

In two more days, it’d be that day.

Much celebrated. Much joy. Much love.

We would exchange the fine words, crafted into sentence, not excessively much, just neatly enough.

Alas; for we are no longer ‘we’, but only a single case of  you, and me.

A-month-in-brief: the thesis defense, the term-break, and the love-life(?)

Ahoy, blog-sailor!

Apa kabar dirimoh? Semoga selalu baik! 😀

As usual, kalau diriku sedang susah tidur, apa juga dioprek-oprek. Termasuk blog ini. Deuh, ternyata banyak juga yak visitornya….. dan yang mengejutkan adalah mereka banyak masuk karena googling keyword BAPER.

BEHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA.

LAGI BAPER YA, KAK? RASAKAN!

*dikeplak massa*

Agaknya mereka ke-direct ke postingan yang ini…. agak kasian juga harus baca postingan alay semi curhat cuma buat tau kepanjangan baper. 😐

Nah, anyway… sebulanan ini adalah bulan yang cukup berjalan dengan baik.

Yang pertama adalah sidang skripsi. Terima kasih untuk program yang gue ikutin, waktu untuk pengerjaan skripsi harus dibawah 3 bulan. Itu udah sama ngetik dan segala tetek bengek. Belom ditambah dosen pembimbing yang suka PHP suruh dateng dan pas nyampe ruangannya kosong, ditelpon ga diangkat, di-Whatsapp balesnya besok. Bhay maksimal.

Tapi akhirnya selesai loh! Tanggal 27 Februari adalah hari H sidang, dan by far, terselesaikan dengan baik. Untungnya 2 hari sebelum sidang, sempet bimbingan dulu sejenak sekalian ACC bab terakhir, jadi udah dikasih rambu-rambu cara ngadepin dosen-dosen penguji. Pada intinya sih dosen penguji gak mau salah dan gak mau kalah. Ada beberapa hal yang udah dari awal diterangin, tapi ditanya lagi. Ada juga yang ta’ bilang di awal alat prototip ini ga akan sampai limit tertentu, tapi ya ditanyanya yang di luar limit itu. Tapi ya sudahlah. Intinya kelar. DAN LULUS, YEY!

Setelah selesai pengumuman, gue, Bayu, Sandy, dan Alvient langsung ngadain makan-makan syukuran, sekaligus nyambut nyonya besar-nya Alvient yang udah dateng jauh-jauh dari Bandung.

IMG20150227210938Yang kedua, ga berasa ini udah mau term-break!

Udah hampir 3 bulan kurang lebih sejak Januari gue ngajar. Jadi ini term pertama gue ngajar yang akan berakhir di Maret ini. Padahal waktu gue yang masih jadi murid disini, rasanya biasa aja, ga ada yang susah dari ngajarin orang. Ternyata setelah ikut pendidikan pengajarnya………….. yak, katakanlah filosofi mengajar tidak semudah yang dibayangkan :’)))

Dari hasil ntipintip dari guru lain yang nge-proctor promotion test kelas gue, hampir semua bisa naik ke level berikutnya. Entah kenapa pas tau rasanya cukup memuaskan sih. Kayak, it’s worth the effort aja gitu. Ternyata dibalik canda dan cengengesan tiap sesi kita, mereka tetep ada yang ‘nyangkut’, bahkan yang slengean sekalipun.

Ini beberapa yang ngajakin selfie di sesi-sesi terakhir :)))

Ini yang masih pada inget ngajakin selfie di sesi-sesi terakhir :)))

Yang ketiga adalah…. ehehehe… hehe… he… anu… urusan cecintaan.

After almost a month of dates, someone’s finally asked me to spend more time together, as in a relationship. =))

I don’t really wanna go with details in public space, but I do can tell this one’s quite different. In a good way, that is. And, of course, in much faith, let’s hope this one lasts. :*

In short, this give-or-take a month has been good for me! It seems that life’s turning into the right direction. It’s not that I’m saying things can’t go south at any moment though, it’s just I want to cherish it, while it still flourishes! :3

Semoga semua yang terbaik juga bersama kamuh, kamuh, dan kamuh!

Valentine is on the air!

Hae, tweeps! Apa kabar dirimoh? *salah channel media sosial*

Izinkanlah saya di malam yang cerah ini bersulang, untuk kamu, kamu, dan kamu yang pada hari ini merayakan Valentine bersama orang-orang terkasih…. CHEERS!

*angkat gelas kopi susu*

C360_2015-02-14-21-12-19-749

Cheers, m8!

Dan apalah arti hari kasih sayang ini tanpa makan malam spesial yang bisa dinikmati bersama:

IMG20150214222100

Ternyata ayam MikiDi pakai sambel terasi itu enak! :3

Beserta bincang-bincang absurd dengan orang-orang terkasih:

Untitled2

Apalah beda satu lantai harus ngobrol via Facebook -_- p.s. For your own sanity, please do ignore the absurdity inside the chat.

Nah, lengkaplah sudah Valentine ala-ala #PutuEdisiJombloMaksimal! Semoga hari ini kamu, entah merayakan atau tidak, sempat untuk berbagi kasih dengan orang-orang yang kamu sayangi. Much love for all of you folks! ❤

Does age mean anything? It sure does!

through-the-ages-600

 

Olla! 😀

Apa kabar para kisanak sekalian? Deuh, kalau saya sih baik-baik aja. Tambah subur iya di awal tahun. Liat aja timbangan. Dia cinta banget suka nambah-nambahin skor. Pasti aslinya ga sedemikian besar angkanya, pastik deh, pastik! #PutuEdisiDenialAwalTahun 😂

Setelah lebih dari sebulan malas sekali rasanya buka blog, kaget juga pas balik udah penuh debu. Sesok-sesok mau bilang ke si Inem buat sekalian bersihin blog seminggu sekali. Disamping kesibukan baru, yang pun sebenarnya udah lama mau diceritain disini tapi ndak sempat-sempat, rasanya pun lagi malas ngerangkai kata-kata. Jadi mulai berpikir buat voice-blogging…… Ada gak ya tipe blog cem itu? :/

Rasa-rasanya kalau mau tulis resolusi 2015 udah agak telat juga. Deuh, ini udah hari keberapa. Lagipula, rasanya sejak 2011 resolusi saya gak berubah tuh; biar segera bergelimang harta, biar bisa cepat pasang paket internet terbesar yang ada di list Speedy, biar bisa cepat nge-build PC gaming, behahahahahahahahak! Berasa nista banget gak sih hedonnya itu resolusi?! 😆

Jadi topik resolusi tahun 2015 sudah baik-baiklah dicoret dari bahan postingan. Ta’ cari topik yang agak lebih dekat aja, ulang tahunnya si mama. Mama baru ulang tahun kemarin tanggal 14 Januari. Oke, gak kemarin persis juga sih, tapi masih deket kan? 😐

Perayaan ulang tahun ini sebenarnya secara bahasa saya masih gak nangkep artinya apa. Dari kata ulang dan tahun, apakah maksudnya tahun yang diulang? Atau dari diulangnya perayaan tahun kelahiran? Ini sebenarnya diskusi yang menarik, karena setiap ungkapan seharusnya ada akarnya, seperti kata terima dan kasih. Mana anak sastra Indonesia? Sini kemarih!

Kalau saya lebih suka pemahaman yang kedua. Saya ambil pemahaman kedua dari terjemahan literal dari kata birthday, birth dan day, hari lahir. Merayakan ulang tahun sepertinya ucapan syukur, bahwa kita sudah lewat lagi satu putaran tahun, dengan segala kurang dan lebihnya sehingga bisa mencapai titik baru. Silahkan ngewengweng debat secara agama tentang perayaan ulang tahun, tapi saya tahu jelas rasa syukur tidak pernah dilarang di agama apapun.

Titik baru yang ta’ sebut tadi, awamnya kita sebut sebagai umur. Umur ini menarik untuk dicermati loh. Seiring dengan pertambahan umur, banyak orang bilang, seharusnya manusia menjadi semakin ranum, semakin matang. Alasannya, pengalaman hidup semakin banyak, seharusnya gaya berpikir semakin luas dan dewasa. Ini dasar penetapan umur legal menjadi 17, 18, atau 21.

Tapi benarkah demikian? Dari pengalaman saya hidup 21 tahun di dunia ini, saya bisa jawab ya dan tidak sekaligus. Ada kok memang orang-orang yang saya temui seiring bertambah umurnya menjadi semakin bijak bertutur lisan, dan berperilaku. Entah dikarenakan memang sudah sedari muda demikian, atau karena didorong faktor eksternal seperti tanggungan moral sosial seperti berkeluarga, jabatan, dan sebagainya.

Dikatakan tidak juga bisa, pernah kan bertemu dengan mereka yang sudah lebih tua tapi tetap mengadopsi gaya hidup anak muda, terlepas dari gaya yang positif atau negatif? Atau, pernah juga kan bertemu dengan mereka yang sudah lebih tua, tetapi cara menghadapi masalahnya jauh dari yang biasa kita konvensikan untuk umuran orang seumurnya? Pasti pernah! Kalau enggak pernah pasti boong! Kalau boong Putu-nya gak mau temenan lagi ama kamoh, weeeeekk! :p

Mungkin karena dua paragraf diatas banyak dipengaruhi oleh (ini gue lagi sok tau) mental, psikis, kejiwaan, dan istilah lainnya yang merupakan makanan anak Psikologi, dimana anak Elektro ini gak mau terlalu jauh meraba-raba. Takutnya ada yang ‘tegang’, kan bahaya. Belum kalau minta nambah, kan berabe. Ini maksudnya tegangan listrik loh, nyetrum-nyetrum nagih. 😂

Ada satu sebenarnya yang tidak bisa dibohongi dari pertambahan umur, kondisi fisik. Terlepas dari penampilan luar yang bisa buat kita meleset nebak umur seseorang (iya, ini curhatan dari yang sering dikira udah 20an akhir 😭 ), tapi pada dasarnya tebakannya gak akan meleset jauh dari rentang umur 0 – 5, 5 – 12, 12 – 18, 18 – 25, 25 – 35, 35 – 40, 40 – 50, 50 – 60. Gak pernah kan ada anak umur 4 tahun dikira 12 tahun? Sebanter-banternya dikira 6 atau 7 tahun. Karena pada dasarnya kondisi fisik itu sifatnya pasti, kecuali mereka yang memang benar-benar menjaga kondisi fisik macam aktor dan aktris ya, itu beda kasus.

Melihat mama yang sekarang, saya rasanya gak akan tersadar kalau enggak sengaja liat foto 10 tahun yang lalu bahwa dia sudah jauh berbeda. Perubahan fisik itu benar terjadi. Seringnya mungkin kita gak tersadar karena selalu bersama-sama tiap hari. Saya baru tersadar lagi bahwa memang ternyata waktu berjalan, banyak tahun yang sudah dihabiskan bersama, dan saya bersyukur ternyata Tuhan masih mengijinkan kebersamaan itu berlangsung sejauh ini, sembari terus berdoa untuk diijinkan bersama-sama di tahun-tahun mendatang.

Banyak kenangan yang bisa jadi mini-seri kalau dijabarkan; mulai dari yang agak ‘pahit’ seperti dipukul betis pakai lidi karena dapat nol di ulangan matematika tentang garis bilangan walau sudah diajar semalaman, sampai yang super manis seperti saat coming out dua tahun lalu. Itu belum ditambah cerita-cerita kecil yang biasa dihabiskan saat kami biasa ngopi dan ngerokok bareng di meja makan.

Di paragraf akhir ini (yang sudah menjelang jam 5 pagi dan perut memberontak untuk segera cari nasi timbel), untuk saya pribadi umur memang memiliki arti. Dia tanda pengingat bahwa waktu terus berjalan dan sedianya tidak berhenti. Dia juga menjadi penyemangat bahwa ada orang-orang terdekat di dunia ini yang masih saya usahakan untuk bahagia dan hiasi dengan senyuman.

Happy birthday, mamih! You’re the best mom evah!

Pertemuan Fisik; Penting?

Berimanlah. Demikian sabda saya pada malam hari ini.

Berimanlah jika sudah chat bersama saya, maka para handai taulan sekalian tidak akan berhenti di satu topik sahaja. Diawali dengan,

Molan, itu rambutnya pakai pomade ya? Nanya dong!”

sampai ganti haluan ke,

“Eh, inget parfum gue apa gak?!”

dan bermuara ke,

“Gimana kisah mz Molan ama yang satu itu?”

DUAR!

Dari pertanyaan terakhir diatas, ada dua alkisah dari pengalaman kami berdua disini:

1. Jarak bukan masalah, waktu yang menjadi masalah, alhasil: tidak ada pertemuan.

2. Jarak bukan masalah, alasan yang menjadi masalah, alhasil: tidak ada pertemuan.

Proses yang lagi kami alami masing-masing memang pada hakekatnya zonk sekali. Ketika di luar sana orang-orang sedang beribut urusan tiket kereta api yang naik sehingga membuat leher rasanya jadi semakin tercekik (baca: para pejuang LDR), kami sih gak kepikiran. Lah apa? Bensin 15 ribu cukup untuk bolak-balik ke rumah (calon) pasangan masing-masing kok selama seminggu penuh. Tapi ya… nihil juga ternyata ketika pertemuan yang sebenarnya diijinkan jarak tetapi tetap mustahil terjadi.

Saya pernah baca satu artikel daring tentang berkenalan di era modern. Tanpa memandang siapa, sebenarnya berkenalan itu sudah mudah sekarang ini. Era papa-mama kita, semua harus diawali dengan bertukar lirik mata, bertukar surat, bertukar senyum, sampai akhirnya berkenalan. Kalau saya suruh kamu sebutkan 3 aplikasi berbasis jarak untuk berkenalan, masa sih nggak bisa kamu jawab dalam 5 menit? Iya, kan?

Lanjutnya, karena kita pada kaidahnya difasilitasi oleh gelombang elektromagnetik di udara, maka sewajarnya proses perkenalan itu berlanjut dalam pertukaran pesan. Jika klik, bisa menjadi pertukaran pesan yang intensif. Berbicara untuk pribadi, saya sih menganggap pertukaran pesan yang intensif tersebut itu wajib hukumnya. Mengapa? Logis saja sebenarnya. Pertukaran pesan dalam pembicaraan itu berarti kita menemukan suatu kesamaan, atau perbedaan, atau ketertarikan, yang sifatnya membuat larut dan hanyut. Itu satu langkah awal.

Berbicara untuk pribadi lagi, langkah awal itu sebenarnya berbahaya, karena pada fase ini lah kita menciptakan suatu kepribadian yang saya sebut khayal semu. Seperti layaknya membaca novel, kita berhadapan dengan alfanumerik di layar. Kita yang mendeskripsikan sendiri nyawa dari karakter huruf yang terbaca. Kita yang seringnya, secara sepihak, menggambarkan karakteristik lawan bicara; hanya dari 26 abjad. Betapa menakjubkan daya khayal manusia, ya? Padahal bisa saja saya mengetikkannya sembari kentut dan ngupil, seperti di tulisan ini.

Yang sebenarnya mau ta’ tekankan di tulisan ini, bukankah pada akhirnya sebuah gelombang elektromagnetik tadi hanyalah sebuah interaksi medan listrik dan medan magnet untuk media bertukar pesan? Bukankah pada akhirnya hubungan yang mau dibentuk adalah dua hubungan kontak antar manusia yang bersifat langsung? Karena pada nyatanya, semua yang kita interpretasikan dari abjad-abjad di pesan tersebut bisa jadi seratus delapan puluh derajat berbeda ketika berkontak langsung. Rapport yang terbentuk  di awan maya bisa seketika luluh lantak, bila rapport di dunia nyata ternyata tidak sejalan. Mungkin dengan istilah yang lebih umum, “Gak nemu chemistry-nya.” Padahal di percakapan maya sudah layaknya lahir dari rahim yang sama.

Tentunya kasusku dan Molan berbeda. Kasusku adalah seperti yang ta’ urai diatas. Kasus Molan adalah ketika hubungan yang minim pertemuan fisik, atau kontak langsung, diimingi untuk terus berlanjut ke arah serius. Tetapi pada intinya sama, kami setuju bahwa dalam berhubungan harus ada rajutan kebersamaan yang nyata hadirnya.

Kembali ke judul tulisan ini, “Pertemuan Fisik; Penting?”

Agaknya dari membaca tulisan ini, harusnya sudah bisa disimpulkan menurut kami adalah: tentu penting. Tapi bukankah pertanyaan utamanya adalah, “Apakah kami hendak berjalan dan berusaha terus dengan cerita yang kami hadapi masing-masing?”

Pada malam itu, saya dan Molan sepakat bahwa kamipun belum tahu jawabnya.

#Review: The Sun, The Moon, & The Hurricane

**DISCLAIMER: Review ini benar-benar subjektif pandangan penulis dan bagian awalnya kebanyakan kisah opening malem mingguan gue yang penuh tai gigi, langsung scroll agak kebawah kalau cuma mau baca reviewnya.***

Sabtu kemarin, gue, Bang Dodo, sama Andre ke Epiwalk buat nonton premiere The Sun, The Moon, & The Hurricane. Sebenernya premiere ini rangkaian dari Jakarta International Film Festival (JiFFest) yang diselenggarain oleh Muvilla di segmen World Cinema dari tanggal 21-23 November 2014. Salah satunya muterin TSTSMTH ini.

Sebenernya gue udah tau film ini dari lama banget, dari awal trailernya keluar sekitar April tahun ini, dan emang udah niatan nonton. Cuma waktu itu sedikit banget info yang ada. Emang sih ada channel Youtube-nya dan ada fanpage Facebook-nya, tapi selain trailer, ya udah, itu aja, gak ada yang lain. Banyak yang nanya di kolom comment Youtube dan FB-nya, tapi gak ada pencerahan sama sekali tentang waktu rilis, event rilis, dan semacamnya. Alhasil? Gue lupa akhirnya. 😐

Sampai Senin minggu lalu tetiba bahasan ini heboh lagi di beberapa grup LINE yang gue join. Si Abang juga heboh ngasih taunya. Gue pun keinget lagi dan googling tentang film ini. Ternyata film ini udah screening di Vancouver International Film Festival loh! Walaupun sebenernya gue masih agak belibet mau ngurus practicum teaching, gak pake lama gue iyahin ajakan si Bang Do. Ya abis gimana lagi, kecil kemungkinan juga naik ke layar lebar kalau gak di film festival. Ya keleus nunggu sampe Q!FF tahun depan. Itu juga kalo diputer di Q!FF…

Oh iya, awalnya juga gue mau ngajak calon gebetan nonton, yang akhirnya gagal karena gue telat bales message dia dan dia keburu jalan sama keluarganya, KZL ZBL BGTZ!!

Selesai dari observasi kelas, gue langsung cabut ke lokasi, sambil berdoa gak macet karena menjelang malam minggu. Sukur-sukurnya ternyata emang cuma macet pas prapatan keluar tol Kuningan, sekalian nyalain GPS, karena gue gak pernah apal puteran-puteran daerah Rasuna Said, behahahahahhaaPutunoraknongkrongnyacumadiBekasihahahahaha! XD

Sampai sekitar jam setengah 6 sore-an. Ngerokok sebatang dua batang sembari chat ke si Abang, katanya dia udah di perjalanan. Awalnya gue agak gak percaya, omongan on the way orang Jakarta kadang ambigu. Bisa jadi dia di perjalanan dari kamar mandi ke luar rumah, hih!

(Ngomong-ngomong, karena ini pertama kali gue ke Epiwalk, gue sempet nyasar-nyasar mulai dari tanya parkir sampe jalan ke XXI-nya. Terus mallnya gede-gede kok panas bingitz yak? Kalah ama mall di Bekasi ah!)

Sembari nunggu gue sembari nge-tweet, dan si Molan sempet mention katanya bukannya tiket udah abis. Gue jawab aja gue ga tau, karena gue emang ga tau sih, pan gue cuma diajak. Awalnya aja gue ga tau ini acaranya JiFFest. :/

Gak lama si Bang Do sampe. Gue kasih tau Abang tentang tweet-nya Molan, dia sama kagetnya sama gue. Dalem hati sebenernya, “Beuh, awas aja udah ngegiring gue pindah planet terus gak jadi, dempul make-up udah tebel banget eneh.” Terus kita sambil sok santai jalan masuk ke XXI. Sepi. Feeling gue ga enak sebenernya. Gak jauh dari lobby-nya ternyata ada stand JiFFest yang awalnya gue kira itu stand promo entah berantah, jadi kita lewatin aja. Dodolipet emang. -_-

Alhasil balik lagi ke stand itu dan nanya-nanya. Banyak orang yang gue kira panitia disitu karena pada pake name tag, dan agak keder diliatin, mungkin karena mereka lagi pada ngobrol dan kita nyempil tetiba nanya. Yang gue ga sadar ternyata disitu ada mulai dari produser, sutradara, sampe aktornya! Syit! Tau gitu gue minta foto! 😥

Selesai beli tiket, karena masih jam 6-an, gue ama Abang sibuk cari makan, sekalian nungguin si Andre dateng. Pilihan dijatuhkan ke restoran Vietnam yang sekarang aja gue udah lupa namanya. Si Abang pake acara nanya pula, “Put, disini ada sashimi gak ya?”….. duh, Bang, ganteng-ganteng kok agak-agak sih. 😒

Gak lama makan, Andre dateng. Terus kita ketawa-ketiwi dan gak sadar udah setengah 8. Jalan balik ke XXI-nya tetiba udah rame dan buset… jeung… kece-kece yak, langsung berasa jadi butiran debu. 😂

Selfie: Yaolloh, itu muka gue pipi semua...

Selfie kayak bangku-bangku sebelah: Yaolloh, itu muka gue pipi semua… 😐




Masuk ke bagian review yak!

Q: Berapa lama sih filmnya?

A: Sekitar 100 menit lebih sikit.

.

Q: Pemerannya siapa aja?

A: William Tjokro, Natalius Chendana, Cornelio Sunny, dan Gesata Stella.

.

Q: Sinopsisnya gimana?

A: [taken from VIFF’s website]

When Rain (William Tjokro) looks back as a 32-year-old, he reflects that it all started the day the enigmatic Kris (Natalius Chendana, a star is born) protected him from bullies in high school. Kris went on to demand Rain’s friendship, insisting on sleepovers and telling him to ditch his other friends, despite himself pursuing nights out with a succession of casual girlfriends. Rain, who’s coming to terms with being gay, can’t understand at all, and he’s devastated when Kris abruptly disappears from his life. But he gets over it, and has a formative sexual experience on a visit to Bangkok. Several years later he gets a surprising invitation to visit Kris, now married and living in Bali. But what does Kris really want?

.

Q: Apa quote paling berkesan sepanjang film?

A: Narasi mono-dialognya si Rain perlu gue akuin jempolan. Banyak yang dalem jleb dan menarik, tapi gue rasa yang paling berkesan tetep tagline filmnya itu sendiri: Times changed. Things changed. We changed.

.

Q: General comment tentang filmnya?

A: Nah, ini bagian yang gue bilang di bagian awal subjektif penilaian pribadi…

Gini-gini,

Dari sisi cinematography TSTMTH ini dahsyat loh. Settingnya dia ambil di 3 tempat, Jakarta, Thailand, dan Bali. Gue emang bukan berlatar belakang dari dunia perfilman, megang kamera SLR aja cuma sekali seumur hidup, tapi film ini emang nyuguhin pengambilan latar dan scene yang bagus. Dengan budget yang sedemikian, film ini lebih dari cukup eye-pleasing kok. Gue pribadi suka dari sudut-sudut pengambilan gambarnya.

Dari sisi kostum, cuma ada satu bagian yang agak drop, waktu Rain dan Kris-nya masih SMA. Penampilan Rain dan Kris bener-bener gak keliatan masih SMA di film ini. Keliatan banget tuanya. Gue ga tau salah dimana, mungkin potongan rambut pengaruh juga. Atau kurang make-up atau gimana. Tapi setau gue, banyak kan di film-film yang aktor atau aktrisnya, dengan orang yang sama, bisa keliatan jauh lebih muda? Balik lagi sih, mungkin untuk begitu perlu make-up artist yang handal juga, dan agak sulit untuk film indie macem ini.

Nah, dari sisi storyline!

Gue pribadi berasa film ini cukup dragging. Berasa jadi, “Kapan sih selesainya?” Menurut gue mungkin karena di banyak scene, kecuali di bagian hubungan seksualnya yang bener-bener terhayati, intense-nya kurang ngena. Ada dua hal yang menurut gue pengaruh, pertama dari pemerannya sendiri, dan kedua dari susunan dialog.

Di banyak adegan, gue ga berasa dapet feel dari para pemerannya itu sendiri. Waktu Rain dilabrak sama Susan di villa, atau pas Kris berusaha meluk Rain di pantai, atau pas Kris nangis di depan Rain, atau pas Rain nampar Kris di airport, atau karakter galaunya si Will yang marah dan ngamuk karena berasa tertuduh jadi gigollo di kamar hotel, ini semua sebenernya punya kans buat ngebuat film deg-degan. Tapi entah kenapa, berasanya ya datar aja.

Susunan dialog juga menurut gue pengaruh. Pas sesi meet-and-greet selesai pemutaran memang ada yang nanya kenapa dialognya campur-campur bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Menurut penanya, itu gak nasionalis dan bla bla bla. Pertanyaan klise. Basi. Sorotan gue justru bukan kesitu. Campur sari bahasa itu, kalau pas, justru bikin suatu dialog bisa jadi jauh lebih menguatkan loh. Masalahnya ini gak pas. Gue berasa banyak susunan dialog yang kaku. Ditambah tetiba sering geganti bahasa, gue jadi agak….. huh?

Gue sempet googling, dan ada review yang menurut gue pas dengan yang mau gue maksud dari tulisan diatas: “…Alas, bland characters, passable to unconvincing acting, a failure to find intrigue in the banal details of life, and earnest, generic reflections upon love, life, and longing (as well as sexual orientation) leave this film a mediocre attempt at art-house aspirations.”

Plus, di sesi meet and greet juga dijelasin tentang maksud The Sun, sebagai era masa yang penuh keceriaan dan kelabilan; The Moon, sebagai era tenang yang sudah mulai dihinggapi kedewasaan; dan The Hurricane, seperti namanya, badai yang penuh masalah. Selesai nonton gue nangkep The Hurricane-nya, tapi kalau gak dijelasin di meet and greet, gue beneran gak paham The Sun ama The Moon dari film ini dimana.

Skor akhir, 6 dari 10.

.

Q: Final comment?

A:

Kayak yang gue bilang, pandangan ini murni pribadi. Kalo elo nonton dan punya pendapat lain, ya mangga. Yang jelas, gak mudah ngebuat film dengan membawa tema LGBT. Ini kasarnya ngebuat film yang gak bisa dijual di pasaran Indonesia. Disamping itu, ada aspek pendanaan yang harus dilirik juga. Salut untuk aktor yang udah berani mencoba peran dengan orientasi yang beda dari orientasi mereka, salut juga untuk sutradaranya. Semoga kedepan makin banyak film dengan tema serupa yang semakin berkualitas.

Perlu dicatat juga, gak kayak film atau novel LGBT yang udah beredar, film ini ngubah stigma bahwa kalau genre ini harus diakhiri dengan kisah mengharu biru penuh tetesan air mata untuk (yang menurut gue) cari ‘penutup yang aman’. Film ini berakhir bahagia kok antara si Rain dan Kris. Memang sudah saatnya mengusung penerimaan diri di karya seni LGBT mulai didengungkan. Emang hidup suram mulu apa?

Kisah ini juga mungkin bisa jadi sedikit sudut pandang berbeda untuk yang sekarang lagi pada dipaksa-paksa nikah. Menikah karena paksaan lingkungan itu benar-benar gak berbuah kebahagiaan. Hidup itu situ yang jalanin, bukan pandangan ‘normal’-nya tetangga.

Maju terus!

Aktor, sutradara, dan produsernya pas sesi meet and greet. Maklum yeh gambarnya jelek, lah aku mah opo hapenya wes cuma Oppo tok.

Aktor, sutradara, dan produsernya pas sesi meet and greet. Maklum yeh gambarnya jelek, lah aku mah opo hapenya wes cuma Oppo tok.




Kelar nonton kita lanjut nongkrong ke PasFes, ngeMekDi sambil ngobrol-ngobrol. Makin bulet deh aku, mz. 🐻

End of An Era

Ehehehe. Hae, siapapun kamoh yang baca post ini. 😀

Mungkin belum banyak yang tahu, atau mungkin sudah, atau memang gak peduli *da aku mah apa, butiran partikel di lautan angkasa*, kalau selama sekitar dua atau tiga bulan ini diriku jarang aktif di akun twitter yang [at]adeputu. Sebenarnya bukan menghilang, tapi memang selama beberapa bulan ini aktifnya di akun alter ego, [at]FabDickhead.

Muasalnya pembuatan akun itu, katakanlah semacam pencarian jati diri karena merasa terkungkung dan enggak leluasa bergerak dengan akun asli, mungkin karena banyak relasi, entah relasi lama atau relasi dekat, yang jumlahnya pun cukup banyak. Orientasi berbeda membuat sulit untuk membuka jaringan pertemanan baru yang memang murni untuk berteman, bukan berembel-embel yang lain. Pun, rasanya penasaran untuk melihat bagaimana yang lain menjalani kegiatan sosial dengan orientasi yang sama. Dus, terciptalah akun tersebut.

Pengalaman yang cukup menakjubkan sebenarnya, dimana kondisi di akun alter ternyata tidak jauh berbeda dari meat market yang biasa ta’ kunjungi. Tapi disini lebih menyenangkan, karena tidak semuanya demikian. Masih banyak yang mengulur tangan untuk bersahabat. Bermodalkan tweet, siapa sangka bertemu banyak akun luar biasa. Salah satunya bahkan pernah ta’ temui dan luar biasa brainstorming yang dilakukan. Blog Molan dan Fian juga menginspirasi untuk menulis lagi setelah blog ini jarang diisi kecuali sebagai tempat buangan tulisan fiksi.

Nah, beberapa menit yang lalu, akun alter tersebut sudah di-deactivate, dan saya memutuskan kembali saja menggunakan satu akun. Banyak teman di akun alter yang terkejut atau bertanya kenapa. Alasannya sederhana. Ada seseorang kenalan yang sering sekedar bertukar tweet atau canda, menulis tentang penggunaan alter dan hubungannya tentang behavior kita, summary tweetnya sila dibuka disini. Hasil pemikiran saya waktu itu juga ada disitu.

Tweet-tweet tersebut yang sebenarnya menjadi dasar pemikiran. Awalnya hanya pikiran lalu, dan seringnya memang saya tepis. Tapi setelah olah pikir mendalam selama beberapa hari ini, agaknya ada benarnya. Sedari awal toh saya gak pernah tertutup yang terlalu gimana. Kontrol untuk diri sendiri itu perlu, biar ndak bablas juga.

Alasan khususnya, sebenarnya bagian pengkotak-kotakan itu. Itu yang jadi dasar utamanya. Pertama, berasa repot untuk switch-switch dari satu akun ke akun lain. Kedua, saya berasa jadi dua pribadi yang berbeda, di salah satunya kadang tidak mencerminkan seorang Putu yang sebenarnya. Ketiga, saya merasa kalau hanya orang-orang tertentu yang temannya [at]adeputu dan sisanya adalah teman [at]fabdickhead. Padahal semua sama. Semua teman dari seorang Putu, toh? Diatas semuanya, saya sebenarnya hanya mencoba untuk tidak menjadi palsu. Itu aja.

Terima kasih sebelumnya untuk teman-teman yang sudah sempat berkenalan di [at]FabDickhead. Saya follow kembali dari akun [at]adeputu. Saya harap walau saya kembali ke akun [at]adeputu, tetap sudi untuk berteman.

Salam hangat,

-Putu

#BesPrenHailait: Ivan ‘Eneng’ Siregar

Lo harus percaya bahwa gue menerima message berikut:

Good God....

Good God….

Ceritanya, beberapa minggu yang lalu gue lagi chat ama si Eneng, gue ngucapin selamat ulang tahun. Walau udah telat. Temen macem apa sih gue. Entah. :/

Gue ama Eneng emang lagi jarang ngobrol, parsialnya karena gue lagi sibuk ikut pelatihan dan dia juga udah mulai ada kesibukan ngasdos sama ngaslab. Apalagi ditambah kesibukan gue bantu pak Jokowi nyusun kabinet kemarin, beh………………… dusta.

Terusnya, ya harap dimaklum kalau bapak-bapak rumah tangga udah berkumpul jatuhnya jadi ngobrol kesana kemari ampe lupa angkat jemuran ama jemput anak, duh. Dari ngucapin selamat ulang tahun, ke nanya kabar, ke nanya kesibukan, nanya lagi deket ama siapa, sampai yang terakhir chat gue ketangkep itu pas lagi jawab dideketin berondong. Yassalam, muka gue tua emang. Face-lift dah gue abis ini ke Natasha, mengkeret semua muka.

Dilala, dia nyamber nanya bagai bayi yang baru dilahirkan tanpa dosa, “Besprenhailait gue mana?”

Bentar ya.

.

.

I need to gather my thought, nih.

.

.

Emang sejak kapan sih kita besprenan? Aku gak inget tuh, kak! 😐 *di-delete dari LINE, Twitter, Facebook dan semua medsos lainnya*

=))

.

.

154468_509141772441805_1287946382_n

Kenalin, kakak-kakak, ini Eneng!

Ehehehe. Ini dia si Eneng. Foto ini andalan loh, sudah berhasil menaklukan banyak hati, tinjauan langsung dari ambrukan message yang masuk ke akun dia. Hebat bingitz. Dedek harus lebih banyak belajar ke Eneng!

Gue pertama kali ketemu Eneng kapan ya…. gue lupa. Yang jelas itu masih jamannya orang chat bukan ke LINE, tapi ke Y!m. Gile, gue setua itu. Bahkan kayaknya tahun itu masih ada fitur “Join Chat Room” di Y!m sesaat sebelom ditarik, bayangin deh selama apa. Kebayang nggak? Sama!

Awal kenalnya, sama ama kenal si Bang Dodo, lewat forum juga. Tapi gue kenal si Eneng lebih dulu ketimbang Abang. Awal kenalannya lucu loh, gegara bales-balesan di thread games gitu. Gemes-gemes banget ga sih?! Enggak sih kata gue. Eneng yang duluan message nanya akun Y!m. Emang terbukti gue memancarkan aura tertentu ke orang-orang, membuat pihak lain tertarik untuk mengenal lebih jauh. Sayangnya auranya ga pernah mempan ke orang yang lagi gue demen. Iya, ini semi curhat.

Eneng itu asli orang Palembang, tapi lagi menempuh pencarian pujaan hati kuliah di Bandung. Katanya sih dia bisa masak segala macem. Sampe pempek pun bisa. Duh, suami idaman. Sayang masih jomblo sampe sekarang. Ciyan.

Ibaratnya, kalau si Eneng suatu hari ditangkep ama BIN, disiksa, diikat, ditetesin lilin, dibekep mulutnya, mulutnya ditaroh gag-ball, ditaro di sling chair…… eh, ini jadi macem scene BDSM sih. Intinya, kalau si Eneng sampe ngember, terungkap semua rahasia cerah (yang mayoritas kelam) gue. Dia tau suka dukanya berbagai orang yang pernah gue kenalin, kencanin, matahin hati *ini yang paling kampret dan sering*, petualangan keringat dan berbagai kisah lainnya. Sebegitu dalamnya lah kedekatan gue sama si Eneng. Hasek.

Masuk ke bagian penutup karena mata gue udah kriyep-kriyep. Eneng itu orangnya spontan, macem Komeng, “Uhuuiii!” Orang terimpulsif mungkin yang pernah gue kenal. Mood-based for most of the time. But hey, aren’t we all? :3 Tapi dia super-friendly, terutama ke orang-orang yang baru dia kenal. Ramah super. Beda ama gue yang mungkin suka dianggep congkak kalau baru kenalan. Sukanya berdiplomasi untuk menghindari pertengkaran, keren yeh, kalau gue mah udah gue frontalin. Dia juga keeper-kind-of-guy loh! Sekali rapet, setianya ngalahin anjing Herder. Beuh. Sikat, kak!

Walaupun tipe idaman dia kadang aneh sih. Tapi gue gak nolak juga kalau dilempar ke gue sih. #apeu

.

.

.

.

Oh iya, fotonya gak berdua kayak bareng Abang, karena emang sebener-benernya kita belum pernah tatap muka kecuali via vid-call. Gila kan. Padahal Bekasi-Bandung deket. Eh, enggak juga deh. Dia harus naik roket kesini.

Heniwei, udah gue tulis ya, neng! Sekarang cariin gue pendamping baru! Cefetz! 🐻

#BesPrenHailait: Tribute to Ahmad Wahyudin

Dear Med,

We first met at the beginning of the first semester. I thought you’re kinda a snob-ish guy. Like seriously, you rather preferred not to talk with others other than the guy that you went up with in the high school. Yet, I put an interest to know you better after you answered that matrices question during Basic Math class, do you still remember that? I steadied myself to ask you a question after class, and contrary with my expectation at that time, you picked up a paper and explained it well. That was the first time we actually talked.

Time passed by, we found something in common: video games. Pretty much like me, you’re an avid player of RPG, Action-Adventure, RTS, Strategy, and thriller games. I encouraged you to play Crusader Kings II, and you would told me about the magic of Warcraft. We could spent hours of chatter from one game to another. We shared cigarettes during break, you would grumbled every time how you couldn’t take a cig at home. We would talk about your high school sweetheart before we rant to politics. We shared duties, I would beat the programming lessons while you beat the physics one. You’re always good with numbers. We compared scores. It was a good time. A good time indeed. Something that I will always cherish.

When I got invited to SarMag screening, you were one of the person that I first gave notice. You were way far more excited than me. I quote, “You should take it, Pak! After all you’re the smartest from all of us, it’s a rare opportunity! I will pray for your test, Insha’ Allah you will pass!” Maybe you didn’t realize, but it gave me courage to go on with the test. And I did pass the test, thanks to you. You agreed that we would come to each other’s graduation and keep in touch. I didn’t know what happened, but we lost in touch. I remember you invited me several times to visit Kampus J to have a lunch, but I always couldn’t make time, before eventually we ceased to chat even on Facebook.

Last Sunday, I got messages, they said you were in accident. I thought, duh, yeah you must be, like you always got yourself into accident. Remember that time when you showed up to the lab with bruises? Or when you almost rammed the truck in highway? Or when you had a fight with other bikers? But this time it’s different they said, you’re in ICU. I did worry. I planned to visit but got occupied with my training. Thing that I now ashamed of myself.

Last Thursday, they sent me another message. You’re no longer with us, they said. I couldn’t move. I just literally stared blank at the monitor. I went downstairs, lit my cigarette. All, like all of our memories replayed by themselves. I smiled, I laughed, I shed tears, I walked around the parking lot remembering how we usually argued, I even talked by myself pretending you were there. I shed tears again before I banged my head to the wall for not seeing you for the last time.

I even smile writing this post, remembering how stupid we were.

Ahmad Wahyudin, Med, Udin, thank you for being my friend. Thank you for everything, for the talks, the jokes, the words, the argues, for always be my friend no matter what. I believe you’re in a good hand right now. In a good place. If there’s just one word you could read right now: thank you.

You do rest now, and we will meet again, someday. We will exchange cigs again, we will talk about games again, I will tell you everything. We will.

So long, Med. Until we meet again.

             

 

Yours always,

-Putu

64035_2636462001491_1178570553_n